A. Konsep Dasar
1.
Pengertian
Benign
Prostatic Hypertrophy ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat,
meliputi antara lain: jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika. ( 4 )
Trans
Urethral Resection of the Prostat ( TUR-P ) adalah pengangkatan jaringan
prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra dengan menggunakan
sistoskopi/resektoskop yang dimasukkan melalui uretra. Indikasi TUR-P ialah
gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR-P jangka pendek
adalah perdarahan, infeksi, hiponatremi TUR-P, atau retensi oleh karena bekuan
darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktur uretra, ejakulasi
retrograd (50-90 % ) atau impotensi (4-40%) . ( 5,6 )
Sindroma
TUR-P ditandai dengan klien mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan dapat terjadi bradikardi. Jika tidak segera diatasi, klien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. ( 1 )
Setelah
TUR-P, dipasang kateter ( no 24 Fr ) foley tiga saluran yang dilengkapi balon
30 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga
balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Boleh dibuat
traksi pada kateter foley untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi
sehingga dapat mengendalikan perdarahan. Fungsi kateter yang lain adalah untuk
irigasi. Dengan irigasi yang konstan dapat membebaskan kandung kemih dari
bekuan darah yang dapat menyumbat aliran urine. Irigasi kandung kemih
dihentikan setelah 2 jam bila tidak keluar lagi bekuan darah dari kandung
kemih. Kateter biasanya diangkat 3-5 hari setelah operasi. ( 2 )
Penyulit
yang terjadi pada TUR-P dibagi menjadi beberapa ahap, sebagai berikut: 1 )
selama operasi: perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi; 2 ) pasca bedah dini:
perdarahan, infeksi lokal atau sistemik, retensio urine, inkontinensia urine;
3) Pasca bedah lanjut : inkontinensia , disfungsi ereksi , ejakulasi retrograd,
striktur uretra, stenosa leher buli-buli, osteitis pubis, prostat kambuh.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
a. Anatomi
fisiologi
Buli-buli
Buli-buli
merupakan organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot destrusor yang
saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot sirkuler, ditengah merupakan
otot longitudinal, dan paling luar merupakan otot sirkuler. Mukosa buli-buli
terdiri atas sel-sel transisional. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan
meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum
buli-buli. ( 1 )
Secara
anatomi bentuk buli-buli terdiri atas tiga permukaan , yaitu: permukaan
superior yang berbatasan dengan rongga peritonium, dua permukaan inferior
lateral, dan permukaan posterior. Pemukaan superior adalah merupakan lobus
minoris ( daerah terlemah ) dinding buli-buli. ( 1 )
Buli-buli
berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra
dalam mekanisme miksi ( berkemih ). Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai
kapasitas maksimal yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah
300-450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak –anak menurut formula Koff adalah : ( 1 )
Kapasitas
buli-buli = { umur (tahun ) + 2 } x 30 ml
Pada
saat kosong buli-buli terletak dibelakang simpisis pubis dan pada saat penuh
berada diatas simpisis sehingga dapat dipalpasi dan di perkusi. ( 1 )
Buli-buli
yang terisi penuh memberikan rangsangan pad syaraf aferen dan menyebabkan
aktivasi pusat miksi di medula spinalis
segmen sakral S 2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot destruso,
terbukanya leher buli-buli dan relaksasi spingter uretra sehingga terjadilah
proses miksi. ( 1 )
Uretra
Uretra
merupakan tabung yang menyalurkan urine
keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
( 1 )
Uretra
ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh
sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan
uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat
diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25 cm. ( 1 )
Secara
anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh
spingter uretra eksternal. ( 1 )
Uretra
posterior pada pria terdiri atas uretra
pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat
suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum
ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi
kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra
prostatika. ( 1 )
Uretra
anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa
navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior
terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu
kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars
bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di
uretra pars pendularis. ( 1 )
Kelenjar prostat
Prostat
adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskular.
Kelenjar ini mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena pengaruh dari
horman androgen yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan derivat dari
jaringan embrional sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti konnus
terbalik yang terjepit ( kemiri ). ( 7 )
Letak
kelenjar prostat disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan membungkus
uretra posterior. Ukuran rata-rata prostat pada pria dewasa 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. ( 1 )
Pada
tahun 1972 Mc. NEAL, mengemukakan konsep
tantang zona anatomi dari prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari
prostat sebagian besar
terletak/membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral
yang terkecil merupakan 95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang
lain ( 5% ) membentuk zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar
uretra di daerah verumontanum. Proses hiperplasia dimulai di zona transisi
ini. Sebagian besar proses keganasan (60-70
% ) bermula di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona transisi dan
zona sentral. (7)
Prostat
menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Cairan ini merupakan 25 %
dari volume ejakulat. ( 1 )
Jika
kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi kanker ganas
dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih. ( 1 )
b. Etiologi
Hingga
sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesa menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron ( DHT ) dan proses aging
( menjadi tua ). ( 1 )
Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah: ( 1 )
a. Adanya
perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.
b. Peranan
dari growth factor ( faktor pertumbuhan ) sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat.
c. Meningkatnya
lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
d. Teori
sel stem menerangkan bahwa terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan se
epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
c.
Patofisiologi ( 6 )
Proses
pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensio urine yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi
saluran kemih atas.
Adapun
patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
-
Penurunan kekuatan dan kaliber aliran
yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
-
Hesistancy terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
-
Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sanpai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas
sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urine yang banyak dalam buli-buli.
-
Nokturia dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi
lebih pendek.
-
Frekuensi terutama terjadi pada malam
hari ( nokturia ) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus
spingter dan uretra berkurang selama tidur.
-
Urgensi dan disuria jarang terjadi,
jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi
involunter.
-
Inkontinensia bukan gejala yang khas,
walaupun dengan berkembangnya penyakit, urine keluar sedikit-sedikit secara
berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam
buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
d. Gejala Klinik
Biasanya
gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptom ( LUTS ), dibedakan menjadi gejala
iritatif dan obstruktif. ( 6 )
Gejala
iritatif yaitu sering miksi ( frekuensi ), terbangun untuk miksi pada malam
hari ( nokturia ), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan
nyeri pada saat miksi ( disuria ). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran
melemah, rasa tidak lampias atau puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus
menunggu lama ( hesitancy ), harus mengedan ( training ), kencing
terputus-putus ( intermittency ), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensio urine dan inkontinen karena overflow. ( 6 )
Gejala
lain diluar saluran kemih, yaitu tidak jarang klien berobat ke dokter karena
mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan dari tekanan
intraobdominal. (1)
Untuk
menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli/orgnisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif
dapat diisi dan dihitung sendiri oleh klien. Sistem skoring yang dianjurkan
oleh WHO adalah skor Internasional gejala prostat atau Internaional Prostatic Symptom Score ( I-PSS ). ( 1 )
Dari
skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: ( 1 )
- Ringan
: skor 0-7
- Sedang
: skor 8-19
- Berat
: skor 20-35
Derajat
berat gejala klinik dibagi menjadi 4 gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urine , seperti bagan dibawah : ( 3 )
Derajat
|
Colok dubur
|
Sisa vol. Urine
|
I
|
Penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba
|
<
50 ml
|
II
|
Penonjolan
prostat jelas, batas atas dapat
dicapai
|
50-100
ml
|
III
|
Batas
atas prostat tidak bisa diraba
|
>
100 ml
|
IV
|
|
Retensi
urine total
|
Gejala
dan tanda pada klien yang lebih lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal,
dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, peri karditis, ujung kaki
yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah
terjadi hidronefrosis atau pionefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA (
Costa Vertebrae Angularis ). ( 6 )
e. Pemeriksaan Diagnostik ( 1,2,3,4,6,13 )
1.
a.
Inspeksi buli-buli: ada/ tidaknya penonjolan perut di daerah supra pubik
( buli-buli penuh / kosong )
b. Palpasi buli-buli: Tekanan didaerah supra pubik
menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi atau penuh.Terasa
massa yang kontraktil dan “Ballottement”.
c. Perkusi:
Buli-buli yang penuh berisi urin memberi suara redup.
2 . Colok dubur.
Pemeriksaan
colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum,
kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan
melalui colok dubur harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran
prostat jinak konsistensinya kenyal), adakah asimetris adakah nodul pada prostat , apa batas atas
dapat diraba .
Dengan
colok dubur besarnya prostat dibedakan :
-
Grade 1 : Perkiraan beratnya sampai
dengan 20 gram.
-
Grade 2 : Perkiraan beratnya antara
20-40 gram.
-
Grade 3 : Perkiraan beratnya lebih dari
40 gram.
3. Laboratorium.
- Darah lengkap sebagai data
dasar keadaan umum penderita .
- Gula darah dimak sudkan
untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetus militus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli nerogen).
- Faal ginjal (BUN,
kreatinin serum) diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas .
- Analisis urine diperiksa
untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih .
- Pemeriksaan kultur urine
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebadkan infeksi dan sekligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa anti mikroba yang diujikan.
4. Flowmetri
:
Flowmetri adalah
alat kusus untuk mengukur pancaran urin dengan satuan ml/detik. Penderita
dengan sindroma protalisme perlu di periksa dengan flowmetri sebelum dan
sesudah terapi.
Penilaian :
Fmak
<10ml --------="" detik="" span="">àobstruktif10ml>
Fmak 10-15
ml/detik-----àborderline
Fmak >15 ml/detik-------ànonobstruktif
5. Radiologi.
- Foto polos abdomen, dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli,
adanya batu atau kalkulosa prostat dan kadang kadang dapat menunjukkan bayangan
buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi
urine.
- Pielografi intra vena,
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis, dan
hidroureter, fish hook appearance ( gambaran ureter berkelok kelok di vesikula
) inclentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urine atau filling defect
divesikula.
- Ultrasonografi (USG),
dapat dilakukan secara transabdominal atau trasrektal (trasrektal
ultrasonografi = TRUS) Selain untuk mengetahui pembesaran prostat <
pemeriksaan USG dapatpula menentukan volume buli-buli, meng ukur sisa urine dan
keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu .Dengan TRUS dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan USG suprapubik.
- Cystoscopy (sistoskopi)
pemeriksaan dengan alat yang disebut dengan cystoscop. Pemeriksaan ini untuk
memberi gambaran kemungkinan tumor dalam kandung kemih atau sumber perdarahan
dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen didalam
vesika. Selain itu dapat juga memberi keterangan mengenahi besarprostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjalan prostat kedalam
uretra.
6. Kateterisasi:
Mengukur “rest urine “ Yaitu mengukur jumlah sisa urine setelah miksi sepontan
dengan cara kateterisasi . Sisa urine lebih dari 100 cc biasanya dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiper tropi prostat .
3.
Dampak Masalah .
Pada klien BPH
dengan TUR-P akan timbul beberapa masalah, dengan gejala yang telah diuraikan
pada sub bab patofisiologi . Masalah ini
dapat berdam pak pada pola pola fungsi kesehatan klien.Dimana klien
sebagai mahluk bio, psiko, sosial,
spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di bagi menjadi 2 yaitu dampak
masalah pre operasi dan post operasi TUR-P.
Dampak masalah pre oprasi TUR-P adalah :
1. Pola
eleminasi .
Tanda
tanda dan gejala yang berhubungan dengan BPH akibat pembesaran prostat yang
berdampak pada penyumbatan parsial atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian
bawah. Keluhan klien antaralain adalah nokturia, frekuensi, hesistency, disuria, inkontinensia dan rasa
tidak lampias sehabis miksi . Dapat pula
muncul hernia inguinalis dan hemoroid .
2.
Pola persepsi dan konsepsi diri.
Kebanyakan
klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Ketidak pastian
tentang prosedur pembedahan, nyeri
setelah operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa cemas. Klien
juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah operasi.
3.
Pola tidur dan istirahat.
Tanda
dan gejala BPH antaralain nokturi dan
frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu.
Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap pada setiap
miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien akan sering
terbangun pada malam hari untuk miksi
dan waktu tidur akan berkurang.
Dampak
masalah post operasi TUR-P adalah:
1.
Pola eliminasi
Klien
post operasi TUR-P dapat mengalami perubahan eliminasi. Hal ini terjadi bila
terdapat bekuan darah yang menyumbat kateter, edema dan prosedur pembedahan
. Perdarahan dapat terjadi pada klien
post operasi TUR-P karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena
pemasangan kateter yang kurang tepat atauperawatan kateter kurangatau tidak
aseptik dapat juga terjadi.
2. Pola tidur dan istirahat
Pada klien post TUR-P dapat mengalami gangguan tidur karena klien merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari
kandung kemih. Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3
.
Pola aktifitas.
Klien
post TUR-P aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa. Klien cenderung
mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat dari TUR-P nya. Klien
akan banyak memilih di tempat tidur dari pada beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post TUR-P
Sedangkan kebutuhan klien dibantu.
4 Pola
reproduksi dan seksual.
Klien
post TUR-P dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena
situasi krisis ( inkontinensia,
kebocoran urine setelah pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi
seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status
kesehatan.
5. Pola
persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Perubahan
penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah
dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya khususnya saat dirumah
supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
B.
Asuhan Keperawatan
Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan. Dengan proses keperawatan, perawat memakai
latar belakang, pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji ststus kesehatan
klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan intervensi,
mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan.
1.
PENGKAJIAN
Pengkajian
merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. pengumpulan data yang
akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola
pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta
merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi TUR-P dan penkajian post
operasi TUR-P.
a) Pengkajian
pre operasi TUR-P
Pengkajian
ini dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi
nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
2 .
Riwayat penyakit sekarang
Pada
klien BPH keluhan keluhan yang ada
adalah frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak
lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi
memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
3 .
Riwayat penyakit dahulu .
Adanya
penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang
berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
4
Riwayat penyakit keluarga .
adanya
riwayat keturunan dari salah satu
anggota keluarga yang menderita penyakit BPH Anggota keluargayang menderita DM,
asma, atau hipertensi.
5.
Riwayat psikososial
a.
Intra personal
Kebanyakan
klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul
karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat
dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b.
Inter personal
Meliputi
peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
6.
Pola fungsi kesehatan
a.
Pola persepsi dan tatalaksana hidup
sehat
Klien
ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan,
penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan
kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat )
b.
Pola nutrisi dan metabolisme
Klien
ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti
nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak
mengalami gangguan atau masalah.
c.
Pola eliminasi
Klien
ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes - netes, jumlah klien
harus bangun pada malam hari untuk berkemih, kekuatan system perkemihan. Klien
juga ditanya apakah mengedan untuk mulai
atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan
seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
d.
Pola tidur dan istirahat .
Klien
ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi
yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau
situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan
tidur.
e.
Pola aktifitas .
Klien
ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,
kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit.
Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.
f.
Pola hubungan dan peran
Klien
ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat atau
dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan
sebagai mana seharusnya.
g.
Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi
informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien sebelum
pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya.
Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam
menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
h.
Pola sensori dan kognitif
Pola
sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari klien.
Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
i.
Pola reproduksi seksual
Klien
ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantangsek
sualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah
seksual yang dialami sekarang ( masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan
pola perilaku seksual.
j.
Pola penanggulangan stress
Menanyakan
apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan
terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien
bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
k.
Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien
menganut agama apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya. Kebiasaan klien
dalam menjalankan ibadah.
7. Pemeriksaan
fisik
a. Status
kesehatan umum
Keadaan
penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah,
suhu tubuh, nadi.
b.
Kulit
Apakah
tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi, bagaimana
keadaan rambut dan kuku klien ,
c.
Kepala
Bentuk
bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma
pada kepala.
d.
Muka
Bentuk
simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula
bagaimana otot mukanya.
e.
Mata
Bagainama
keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi
dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
f.
Telinga
Ada
atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa
ada gangguan pendengaran.
g.
Hidung
Bentuknya
bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah
hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h.
Mulut dan faring
Adakah
caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah
tremor ,parese atau tidak. Adakah
pembesaran tonsil.
i.
Leher
Bentuknya
bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j.
Thoraks
Betuknya bagaimana,
adakah gynecomasti.
k.
Paru
Bentuk bagaimana,
apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya.
Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l.
Jantung
Bagaimana pulsasi
jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
m.
Abdomen
Bagaimana
bentuk abdomen. Pada klien dengan
keluhan retensi umumnya ada penonjolan
kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana.
Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba
atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n.
Genitalia dan anus
Pada klien
biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal
touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter,
Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o.
Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada
pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus pada
tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah
atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
8. Pemeriksaan
diagnostik
Untuk pemeriksaan
diagnostik sudah dijabarkan penulis pada konsep dasar.
b) Pengkajian
post operasi TUR-P
Pengkajian ini
dilakukan setelah klien menjalani
operasi, yang meliputi:
1. Keluhan
utama
Keluhan pada klien
berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan keluhan
yang bisa timbul pada klien post operasi TUR-P adalah keluhan rasa tidak
nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada
waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari
klien sendiri.
2. Keadaan
umum
Kesadaran, GCS,
ekspresi wajah klien, suara bicara.
3. Sistem
respirasi
Bagaimana
pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu
dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan
ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung,
gerakan dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
4. Sistem
sirkulasi
Yang dikaji: nadi
( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor jantung (
EKG ).
5. Sistem
gastrointestinal
Hal yang dikaji:
Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi, bagaimana
dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan muntah.
6. Sistem
neurology
Hal yang dikaji:
keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri kepala.
7. Sistem
muskuloskleletal
Bagaimana
aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi kebutuhannya.
Apakah terpasang infus dan dibagian mana
dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus. Keadaan
ekstrimitas.
8. Sistem
eliminasi
Apa ada
ketidaknyamanan pada supra pubik,
kandung kemih penuh . Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji
apakah ada tanda – tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa.
Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari.
Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter.
9. Terapi
yang diberikan setelah operasi
Infus yang
terpasang, obat – obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi
kandung kemih.
c. Analisa
data
Data yang telah
dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Analisa
merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi,
mengklasifikasi data, mengelompokkan, mengkaitkan, menentukan kesenjangan
informasi, membandingkan dengan standart, menginterpretasikan serta akhirnya
membuat kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa sebelum
operasi dan analisa setelah operasi.
2.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Tahap akhir dari
pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang merupakan penilaian atau
kesimpulan yang diambil dari pengkajian keoerawatan. Dari analisa data
diatas dapat dirumuskan suatu diagnosis keperawatan yang dibagi menjadi 2, yaitu diagnosa sebelum operasi dan
diagnosa setelah operasi.
1. Diagnosa
sebelum operasi
a. Perubahan
eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik
: pembesaran prostat. ( 5,8 )
b. Nyeri
sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran
prostat. ( 5,9 )
c. Cemas
sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan
tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi. (
5,8,10 )
d. Gangguan
tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap
kerusakan eliminasi: retensi disuria,
frekuensi, nokturia. ( 11 )
2. Diagnosa
setelah operasi
a. Nyeri
sehubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P ( 2
,8,9,10 )
b. Perubahan
eliminasi urine sehubungandengan obstruksi sekunder dari TUR-P: bekuan darah
odema ( 2 , 5 )
c. Potensial
infeksi sehubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering ( 2 , 5,8,10 )
d. Potensial
untuk menderita cedera: perdarahan sehubungan dengan tindakan pembedahan ( 2 ,
9 , 10 )
e. Potensial
disfungsi seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P (
2, 8,10 )
f. Kurang
pengetahuan: tentang TUR-P sehubungan dengan kurang informasi . ( 2,8,9 )
g. Gangguan
tidur dan istirahat sehubungan dengan nyeri. (11)
3. PERENCANAAN .
Setelah merumuskan
diagnosis keperawatan, maka intervensi dan aktifitas keperawatan perlu di
tetapkan untuk untuk mengurangi,
menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahap ini disebut sebagai
perencanaan keperawatan yang terdiri
dari: menentukan prioritas diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran ( goal ),
dan tujuan (obyektif ), menetapkan kriteria evaluasi, merumuskan intervensi dan
aktivitas keperawatan. (5) Selanjutnya
dibuat perencanaan dari masing – masing diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1 . Sebelum
operasi
a . Perubahan
eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obtruksi
mekanik: pembesaran prostat.
Tujuan: Pola
eliminasi normal .
Kriteria hasil :
-
Klien dapat berkemih dalam jumlah
normal, tidak teraba distensi kandung kemih
-
Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml
-
Klien dapat berkemih volunter
-
Urinalisa dan kultur hasilnya negatif
-
Hasil laboratorium fungsi ginjal normal
Rencana tindakan :
1. Jelaskan
pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi .
2. Dorong
klien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila dirasakan .
3. Anjurkan
klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan
4. Perkusi /
palpasi area supra pubik
5. Observasi
aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih. Jika volume residu
urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten.
6. monitor
laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN,
kreatinin.
7. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis
Alfa - adrenergik (prazosin)
Rasional :
1 . Meningkatkan
pengetahuan klien sehingga klien kooperatif
dalam tindakan keperawatan.
2 . Meminimalkan
retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih
3 . Peningkatan
aliran cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan
kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
4.
Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik.
5.
- Observasi aliran dan kekuatan urine untuk mengevaluasi adanya obstruksi
- Mengukur residu
urine untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi
6. Statis
urinarias potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko ISK.
Pembesaran prostat dapat menyebabkan dilatasi saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi
ginjal dan menimbulkan uremia.
7. Mengurangi
obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang.
b. Nyeri
sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap pelebaran
prostat.
Tujuan : Klien
menunjukan bebas dari ketidaknyamanan
Kriteria hasil :
- Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Ekspresi wajah klien rileks
- Klien mampu untuk istirahat dengan cukup
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Kaji
nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 1-10 ), dan lamanya.
2. Beri
tindakan kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan posisi yang nyaman,
mendorong penggunaan relaksasi / latihan nafas dalam.
3. Beri
kateter jika diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin
kencing tapi tidak bisa.
4. Observasi
tanda – tanda vital.
5. Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: eperidin ( Dumerol )
Rasional :
1. Memberi
informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan Intervensi
2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3 Retensi urine menyebabkan infeksi saluran
kemih, hidro ureter dan hidro nefrosis
4. Mengetahui perkembangan lebih lanjut
5. Untuk menghilangkan nyeri hebat / berat,
memberikan relaksasi mental dan fisik.
c. cemas
sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan
tentang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi.
Tujuan: Cemas
berkurang / hilang sehingga klien mau
kooperatif dalam tindakan perawatan.
Kriteria hasil :
-
Klien melaporkan cemas menurun /
berkurang.
-
Klien memahami dan mau mendiskusikan
rasa cemas.
-
Klien dapat menunjukan dan mengidentifikasi
cara yang sehat dalam menghadapi cemas.
-
Klien tampak rileks dan dapat
beristirahat yang cukup.
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Bina
hubungan saling percaya dengan klien atau keluarga.
2. Dorong klien
atau keluarga untuk menyatakan perasaan
/ masalah.
3. Beri
informasi tentang prosedur / tindakan yang akan dilakukan, contoh: kateter,
urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang
diinginkan klien.
4. Jelaskan pentingnya peningkatan asupan
cairan.
5. Jelaskan pembatasan aktifitas yang diharapkan
:
a. tirah baring
untuk hari pertama post operasi
b.ambulasi progresif yang dimulai hari pertama
post operasi
c.hindari aktifitas yang mengencangkan
daerah kandung kemih
6. Observasi tanda - tanda vital.
Rasional
:
1. Menunjukan
perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam mendiskusikan tentang
subyek sensitif.
2. Mengidentifikasi masalah, memberikan
kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi
pemecahan masalah.
3. Membantu klien memahami tujuan dari apa yang dilakukan dan mengurangi
masalah karena ketidaktahuan.
4. Urine yang encer dapat menghambat
pembentukkan klot.
5.
Pemahaman klien dapat membantu mengurangi cemas yang berhubungan dengan
kecemasan akibat ketidaktahuan.
6. Perubahan
tanda – tanda vital mungkin
menunjukkan tingkat kecemasan yang
dialami klien.
d. Gangguan
tidur dan istirahat sehubungan dengan
sering terbangun sekunder terhadap
kerusakan eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia.
Tujuan: Kebutuhan
tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
-
Klien mampu istirahat / tidur dengan
waktu yang cukup.
-
Klien mengungkapkan sudah bisa tidur.
-
Klien mampu menjelaskan faktor penghambat
tidur.
Rencana tindakan:
1. Jelaskan
pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur / istirahat dan kemungkinan
cara untuk menghindarinya.
2. Ciptakan
suasana yang mendukung dengan mengurangi kebisingan.
3. Beri kesempatan
klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4.
Batasi masukan cairan waktu malam hari
dan berkemihsebelum tidur.
5. Batasi masukan
minuman yang mengandung kafein.
Rasional :
1. Meningkatkan
pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
2. Suasana
yang tenang akan mendukung istirahat klien.
3. Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.
4.
Mengurangi frekuensi berkemih malam
hari.
5.
Kafein dapat merangsang untuk sering
berkemih.
2. Sesudah
operasi
a.
Nyeri sehubungan dengan spasmus kandung
kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri
berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
-
Klien mengatakan nyeri berkurang /
hilang.
-
Ekspresi wajah klien tenang.
-
Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
-
Klien akan tidur / istirahat dengan
tepat.
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal.
-
Keluarnya urine melalui sekitar kateter
sedikit.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan
pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
2.
Pemantauan klien pada interval yang
teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung
kemih.
3.
Jelaskan pada klien bahwa intensitas
dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
4.
Beri penyuluhan pada klien agar tidak
berkemih ke seputar kateter.
5.
Anjurkan pada klien untuk tidak duduk
dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
6.
Ajarkan penggunaan teknik relaksasi,
termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
7.
Jagalah selang drainase urine tetap
aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi
kateter jika terlihat bekuan pada selang.
8. Observasi
tanda – tanda vital
9. Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat – obatan ( analgesik atau anti spasmodik )
lRasional :
1. Kien
dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Menentukan
terdapatnya spasmus sehingga obat –
obatan bisa diberikan.
3. Meberitahu
klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Mengurang
kemungkinan spasmus.
5. Mengurangi tekanan pada luka insisi
6.
Menurunkan tegangan otot, memfokuskan
kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7.
Sumbatan pada selang kateter oleh
bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan
spasme.
8.
Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9.
Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
b. Perubahan
pola eliminasi urine sehubungan dengan obstruksi sekunder dari TUR-P: bekuan
darah, edema.
Tujuan: Eliminasi
urine normal dan tidak terjadi retensi urine.
Kriteria hasil:
-
Klien akan berkemih dalam jumlah normal
tanpa retensi.
-
Klien akan menunjukan perilaku yang
meningkatkan kontrol kandung kemih.
-
Tidak terdapat bekuan darah sehingga urine
lancar lewat kateter.
Rencana tindakan:
1. Kaji output urine dan karakteristiknya
3.
Pertahankan irigasi kandung kemih yang
konstan selama 24 jam pertama
4.
Pertahankan posisi dower kateter dan
irigasi kateter.
5.
Anjurkan intake cairan 2500-3000 ml
sesuai toleransi.
6.
Setalah kateter diangkat, pantau waktu,
jumlah urine dan ukuran aliran. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih,
ketidakmampuan berkemih, urgensi atau gejala – gejala retensi.
Rasional:
1. Mencegah
retensi pada saat dini.
2. Mencegah
bekuan darah karena dapat menghambat aliran urine.
3. Mencegah
bekuan darah menyumbat aliran urine.
4. Melancarkan
aliran urine.
5. Mendeteksi
dini gangguan miksi.
c. Potensial
infeksi sehubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien
tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
-
Klien tidak mengalami infeksi.
-
Dapat mencapai waktu penyembuhan.
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal
dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan
sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
2. Anjurkan
intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
3. Pertahankan
posisi urobag dibawah.
4. Observasi
tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
5. Observasi
urine: warna, jumlah, bau.
6. Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
Rasional:
1. Mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi .
2. Meningkatkan
output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi
ginjal.
3. Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4. Mencegah
sebelum terjadi shock.
5. Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Untuk
mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
d. Potensial untuk
menderita cidera: perdarahan sehubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak
terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
-
Klien tidak menunjukkan tanda – tanda
perdarahan .
-
Tanda – tanda vital dalam batas normal
.
-
Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan
pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .
2.
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
.
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi
di pasang dan kapan traksi dilepas .
6. Observasi:
-
Tanda – tanda vital tiap 4 jam
-
Masukan dan haluaran
-
Warna urine
Rasional :
a.
Menurunkan kecemasan klien dan
mengetahui tanda – tanda perdarahan
.
b.
Gumpalan dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
c.
Dengan peningkatan tekanan pada fosa
prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
d.
Dapat menimbulkan perdarahan prostat
.
e.
Traksi kateter menyebabkan pengembangan
balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam
setelah pembedahan .
f.
Deteksi awal terhadap komplikasi,
dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
e. Potensial
disfungsi seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari
TUR-P.
Tujuan: Fungsi
seksual dapat dipertahankan
Kriteria
hasil:
-
Klien tampak rileks dan melaporkan
kecemasan menurun .
-
Klien menyatakan pemahaman situasi
individual .
-
Klien menunjukkan keterampilan pemecahan
masalah .
-
Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P
pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri
kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap
seksual .
2 . Jelaskan
tentang :
a . Kemungkinan
kembali ketingkat tinggi seperti semula .
b . Kejadian
ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
3 . Mencegah
hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
4 . Dorong klien
untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan
.
Rasional :
1 . Untuk
mengetahui masalah klien .
2 . Kurang
pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual.
3 . Bisa terjadi
perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Untuk
mengklarifikasi kekhatiran dan
memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
f . Kurang
pengetahuan: tentang TUR-P sehubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien
dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
-
Klien akan melakukan perubahan
perilaku.
-
Klien berpartisipasi dalam program
pengobatan.
-
Klien akan mengatakan pemahaman pada
pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas
berat selama 3-4 minggu .
2. Beri penjelasan
untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja
untuk laksatif sesuai kebutuhan.
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000
ml/hari.
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada
dokter.
5. Kosongkan
kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
Rasional:
1. Dapat
menimbulkan perdarahan .
2. Mengedan bisa
menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada
waktu BAB .
3. Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan
darah .
4. Untuk menjamin
tidak ada komplikasi .
5. Untuk membantu
proses penyembuhan .
g . Gangguan tidur
sehubungan dengan nyeri
Tujuan: Kebutuhan
tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
-
Klien mampu beristirahat / tidur dalam
waktu yang cukup.
-
Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
-
Klien mampu menjelaskan faktor
penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan
pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
2. Ciptakan
suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
3. Beri
kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik
).
Rasional:
1. meningkatkan
pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2. Suasana
tenang akan mendukung istirahat .
3. Menentukan
rencana mengatasi gangguan .
4. Mengurangi
nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
4. PELAKSANAAN ( 12 )
Pelaksanaan adalah
realisasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien, baik sebelum
operasi dan sesudah operasi. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah sebagai
berikut: 1 ) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah divalidasi;
2 ) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat; 3 ) Keamanan fisik dan psikologis
dilindungi; 4 ) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
5.
EVALUASI
Evaluasi adalah bagian
akhir dari proses keperawatan . Semua tahap proses keperawatan ( diagnosis,
tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk apakah
tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang .( 12 )
Ada tiga
alternatif yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan yang
telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian
dan tujuan tidak tercapai. Untuk dapat menilai maka dilihat dari perilaku klien
sebagai berikut: ( 13 )
1. Tujuan tercapai
jika klien mampu menunjukkan perilaku pada waktu atau tanggal yang telah
ditentukan, sesuai dengan pernyataan tujuan.
2. Tujuan tercapai
sebagian jika klien telah mampu menunjukkan perilaku, tetapi tidak seluruhnya
sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan .
3. Tujuan tidak
tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan, sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – dasar urologi. Malang: CV Infomedika.
2. Long, Barbara C. 1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu pendekatan
proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Padjajaran.
3. Sjamsuhidayat, R ( et al ). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran, EGC.
4. Lap / UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosa dan Terapi. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Airlangga.
5. Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC.
6. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid
kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
7. Hardjowijoto, Sunaryo. 1999. Benign Prostat Hiperplasia. Surabaya: FK
UNAIR / RSUD Dr. Soetomo.
8.
Black, Joyce M ( et al ).1991. Medical Surgical Nursing, A Psychophysiologic Approach, fourth edition.
9. Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah,volume 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
10. Carpenito, Lynda Juall. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
11. Carpenito, Lynda Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 6.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
12. Keliat, Budi Anna. 1994. Proses Keperawatan. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran, EGC.
13. Lismidar, H. 1990. Proses Keperawatan. Jakarta: Universitas Indonesia – press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar